Untuk mengetahui
lebih jelas tentang tempat pertunjukan/pentas perlu diketahui terlebih dahulu
tentang sejarah yang terkait dengan seni pertunjukan.
A. Sejarah
Pentas (tempat pertunjukan)
1.
Zaman Primitif :
Lakon teater yang disajikan pada
zaman ini bersumber pada kegiatan
kultural, dengan tujuan kepercayaan, religi. Tempat pelaksanaan bergantung pada
alamiah saat itu, di alam terbuka, di kompleks candi dimana tempat dewa
bersemayam dan disembah.
2.
Zaman Yunani :
Pada zaman Yunani lakon
bersumber pada pemujaan Dewa Dionysos. Tempat pelaksanaan bentuknya
melingkar, tak ada batas antara pemain dan penonton. Kurang lebih lima
abad sebelum masehi berkembang kehidupan kultural yang gemilang/abad keemasan
sekaligus merupakan titik tolak sejarah teater barat. Konstruksi teater pada
zaman Yunani ada beberapa macam,
a.
Orchestra : tempat bermain
b.
Tymele : pusat orchestra,
sebagai tempat puncak pemujaan
c.
Theatron : tempat penonton
d.
Scene : tempat berpakaian
dan beristirahat pemain
Mula-mula tempat ini dibuat sangat
sederhana, letaknya di depan theatron, kemudian dibuat lebih baik dan
indah karena sekaligus digunakan sebagai latar belakang pemainan. Scene
memiliki tiga pintu; pintu tengah adalah jalan masuk istana dan protagonis atau
tokoh sentral. Kebiasaan ini menjadi tradisi bagi pementasan lakon Yunani dan
Romawi.
e.
Parodos : ruang untuk keluar masuk pemain yang terletak di antara
scene dan orchestra. Sebelah kiri/ kanan scene.
f. Parascenia : Side
wing, sekat kiri/kanan scene
g. Prascenia : Forestage, tingkat kedua di atas scene.
Atap tingkat menonjol ke depan menjadi plat
form, ini disebut proskenion. Dari
nama ini kita mengenal istilah proscenium.
h.
logeion : Di atas proscenion
sering digunakan
sebagai pentas
(balkon).
3.
Zaman Romawi :
Pada zaman ini mengoper
bentuk teater Yunani dengan perubahan-perubahan sepanjang sejarah mengarah pada
perkembangan masa kini. Teater mengarah pada hiburan. Ruang penonton terletak
di sebagian besar. Lakon dimainkan di tempat yang merupakan
kesatuan dengan latar belakang. Latar belakang bangunan besar dan mewah. Pentas
terlindung oleh atap, sedangkan pada saat cuaca buruk penonton bisa terlindung
di atasnya. Cerita atau lakon yang dimainkan berkaitan dengan kejayaan,
kebesaran karajaan dan berkaitan dengan kekuatan,serta kekuasaan. Raja adalah
wakil tuhan sehingga semuanya mulai dari keluarga prajurit harus patuh.
4.
Zaman Abad Pertengahan :
Bentuk konstruksi pada abad pertengahan masih primitif (teater kereta), dan bisa lebih luas
dan mewah (teater simultan). Secara sederhana teater bisa dibongkar- pasang dan
berpindah-pindah. Model pentas bisa diubah-ubah disesuaikan dengan lakon.
Penonton berdiri pada tiga perempat
lingkaran di sekitar pentas yang biasanya ditempatkan di atas kereta. Pemain
bermain di depan tirai, berganti pakaian di belakang tirai. Lakon yang
dimainkan sudah tidak ada kaitannya dengan kepwercayaan atau religi, tetap
banyak lakon yang bersifat hiburan atau tontonan.
5. Zaman Elizabhetan :
Zaman ini berkembang gaya
yang khas atau spesigfikasi yang
ditunjang oleh Ratu Elizabeth I di Inggris. Teater ini terkenal sebagai tempat William Shakhespeare
(1564-1616) mencipta karya-karyanya di losmen, tempat rombongan melakonkan
cerita. Mula-mula pertunjukan dilaksanakan di tempat terbuka/di kompleks losmen
yang dikelilingi oleh gallery
tempat penonton. Pentas
berada di ujung tempat terbuka itu dan
ditutup tirai. Di belakang tirai itu pemain
berganti pakaian.
6.
Zaman Renaissance :
Di Eropa
Barat tumbuh berbagai bentuk konstruksi teater. Dalam konstruksi tersebut
terdapat pemisahan antara pemain dan penonton teater selanjutnya teater
tersebut menjadi gedung yang tertutup
dan mengalami perkembangan tata sinar dekorasi.
6.1. Teater Perspektif :
Dekorasi tetap di tempat lakon
dipetunjukkan. Pentas terdiri dari dua
bagian
Bagian depan disebut proscenium untuk
bagian yang meninggi dan bertemu dengan dekorasi belakang untuk menimbulkan
pemandangan yang perspektif dari masing-masing lakon yang dibuat beraneka
dekorasi yang terlukis, seperti istana, candi, jalan besar, pemandangan alam,
dan sebagainya.
6.2 . Teater dengan dekorasi yang bisa
digerakpindahkan.
Kurang lebih pada abad enam belas
orang merasa adanya kebutuhan akan bentuk pentas yang lebih lincah, hal ini
karena perkembangan adanya lakon opera yang mempertunjukkan repertoar-repertoar
selingan dan acara nyanyi. Untuk mengurangi vakum pertunjukan, mula-mula digunakan dekorasi yang berbentuk
segi tiga dan digerakkan pada poros yang memungkinkan membalikkan gambar dengan
memutar dekorasi pada poros tersebut. Kemudian prisma-prisma tersebut diganti dengan drop dan wing (coulisen) yang dikenal
sekarang ini.
6.3. Teater loge
Ada perbedaan harga tanda
masuk antara yang murah dan mahal, antara orang biasa dan orang penting. Ketika
rakyat mengunjungi teater, kaum bangsawan merasakan perlu adanya pemisahan ini.
6.4.
Teater dengan dekorasi yang tertutup :
Pertunjukan
yang lebih realistis dari lakon dramatik diperlukan dekorasi dengan latar
belakang yang menciptakan ilusi yang dituntutnya. Dibuat ruangan-ruangan kamar
dan plafon sehingga muncul dekorasi realistis seperti sekarang.
B. Bentuk Pentas
Indonesia terdiri berbagai macam etnis atau suku
bangsa kaya akan seni dan budaya
sehingga memiliki tempat pertunjukan yang beraneka ragam jenis dan
bentuknya. Bentuk tersebut sesuai dengan
situasi atau jenis pertunjukan, misalnya yang berkembang di masyarakat pedesaan
di lingkungan tembok istana, dan yang bersifat ritual atau berkaitan dengan
keagamaan. Bentuk pentas di Indonesia pada dasarnya dibagi menjadi 3
jenis yaitu (1) bentuk arena, (2) bentuk proscenium, dan (3) bentuk campuran.
1.
Bentuk Arena
Teater terbuka atau arena adalah pentas yang
meniadakan batas pemisah antara pemeran dengan penonton. Daerah pemain di tengah, dan penonton berada di sekelilingnya. Bentuk ini
merupakan bentuk yang paling sederhana.
Ciri bentuk pentas
arena tersebut adalah ;
a.
antara pemeran dan penonton hampir tidak
memiliki batas
b.
tidak memerlukan pelayanan yang khusus, misalnya menggunakan skeneri yang
realistis tiap pergantian adegan
Di Indonesia pada zaman dahulu terdapat
berbagai bentuk pentas. Sebenarnya sangat sulit memastikan bagaimanakah bentuk
awal pentas yang sebenarnya dan kapan dimulainya. Pengertian pertunjukan dulu
pada hakikatnya adalah pernyataan manusia untuk menyampaikan rasa batinnya
kepada Sang Hyang Widiwasa, Sang
Penguasa, atau manusia lain.
Apabila halaman pura di Bali dipergunakan
untuk menyampaikan pernyataan manusia kepada Sang Hyang Widiwasa, maka halaman
pura dapat disebut pentas, dapat pula tidak. Dapat disebut pentas
apabila dijadikan tempat pertunjukan,
dan tidak disebut pentas apabila halaman pura digunakan untuk beribadah.
Bentuk pentas teater tradisi terdapat di berbagai daerah, misalnya Minangkabau
menggunakan halaman rumah gadang, Kesenian Topeng dari Jakarta juga menggunakan
halaman rumah sebagai arena pentas. Namun ada pula yang menggunakan
bentuk panggung (dalam arti suatu tempat lebih tinggi yang dibuat dari
benda-benda sekedarnya untuk arena pentas sehingga akan lebih jelas dilihat
penonton). Untuk masyarakat Jawa bangunan pendopo digunakan untuk pentas
tari klasik, wayang kulit, serta karawitan. Bangunan tersebut mempunyai
makna dan filosofi tersendiri mulai dari bagian depan disebut Kuncung, bagian tengah disebut pendopo, dan bagian belakang disebut pringgitan.
Pentas arena umumnya menempatkan diri di titik pusat. Apabila penonton
berada di sekeliling pentas, pentas arena itu disebut pentas arena sentral
(central staging). Pemberian nama pada bentuk ini terletak pada penempatan penonton.
Apabila penonton mengitari pentas berbentuk tapal kuda, maka pentas arena
disebut pentas arena tapal kuda. Kemudian ada pentas arena U, pentas
arena L, pentas arena lingkaran, setengah lingkaran, dan
Amphi theater (penonton lebih tinggi dari daerah pemain).
Kelompok-kelompok teater memilih pentas
arena sebagai medan ekspresi mereka untuk melaksanakan gagasan yang dituangkan
dalam bentuk pertunjukan. Tempat tersebut dapat ditemukan di lingkungannya
misalnya di balai desa, balai kecamatan,
aula sekolah, kelas, pendapa kabupaten, dan sebagainya.
Pentas arena sentral merupakan
bentuk pentas tempat pertunjukan yang tertua. Meskipun bentuk fisik pentas tidak berkembang secara jelas,
bentuk-bentuk pentas teater tradisi rakyat di beberapa daerah telah menunjukkan
indikasi bentuk pentas arena sentral. Bentuk
ini lebih banyak mengambil tempat di luar (eksterior) daripada di
dalam (interior). Pentas dan auditoriumnya tidak diatur, tetapi penonton
bebas menempatkan diri. Penonton tidak ditata dalam suatu ruang tertentu.
Pada prinsipnya ruang yang baik untuk
pertunjukan tidak memiliki tiang bangunan yang mengganggu penonton. Ketinggian atap yang memungkinkan untuk
peralatan lampu harus dihindarkan dari tatapan mata penonton. Ruangan yang
ideal adalah persegi empat, dan lantai penonton disusun bersaf tiga.
Setiap pertunjukan memerlukan rencana pentas atau floor plan, apakah
berupa pentas sentral, pentas arena tapal kuda, bujur sangkar, dan sebagainya. Juga memiliki rencana
penempatan benda-benda set/peralatan yang menetap di atas pentas.
Penempatan peralatan di atas pentas perlu diperhitungkan agar tidak
mengganggu jalannya pentas, tetapi justru menunjang daerah pemeranan. Jalan keluar masuk pentas oleh penonton
dianggap sebagai peta bumi adegan sehingga perlu dicari jalan yang seefisien
dan seefektif mungkin.
Gambar dan bentuk Teater arena
|
Gambar 2:
Teater arena bentuk U
Gambar 2:
Teater arena bentuk U
|
|
|
|
2. Bentuk Proscenium
Proscenium adalah bentuk pementasan yang memisahkan antara pemain/pentas
dengan penonton/auditorium. Konstruksi dasar proscenium berasal dari
analisis kedudukan, terdiri atas tiga
bagian yaitu;
A). Stage Block adalah
tempat/arena pertunjukan
B). House Block adalah tempat
penonton
C). Front House Block adalah
tempat pekerja personalia pertunjukan atau public relation
Gambar 6: Sistem 3 blok
Banyak
gedung pertunjukan di Yogyakarta yang mengacu pada konsep proscenium, misalnya
gedung pertunjukan Tedjokusumo I FBS UNY, Purna Budaya, Auditorium PPPGK
Yogyakarta, Gedung Pertunjukan Sociteit, Auditorium SMKI, Auditorium ISI,
Gedung Kesenian Kabupaten Sleman, Kulon
Progo, Gunung Kidul, Bantul, dan Kodya
Yogyakarta.
Panggung
proscenium yang terdapat di Indonesia pada umumnya tidak didukung
oleh teknologis tinggi, tidak memiliki
permesinan panggung (stage
engineering) seperti yang dapat dipelajari dari buku-buku asing. Salah satu
halnya tidak adanya ruang layang (fly-gallery).
Kenyataan yang ada di dalam panggung-panggung proscenium Wayang Orang,
Ketoprak atau Ludruk jelas bahwa ruang
layang itu tidak ada. Panggung proscenium di Indonesia masih sederhana, terdiri panggung dengan
ruang pentas, layar-layar baik berupa layar pergantian adegan maupun layar set,
sebeng-sebeng dan border. Selanjutnya diuraikan perpetaan
panggung proscenium selengkapnya,
artinya termasuk adanya ruang layang yang tidak ada pada kebanyakan proscenium
di Indonesia.
Pentas proscenium
terdiri dari :
a).
Pit atau sudut tempat orkes adalah sebuah lantai di depan panggung menjorok
lebih rendah dari lantai penonton. Diperlukan untuk tempat orkes ( orchestra
pit).
b).
Apron atau serambi panggung adalah bagian lantai
panggung paling depan yang dibatasi oleh garis layar dan ujung lantai panggung
yang menjorok ke auditorium. Ada beberapa pendapat tentang fungsi apron pendapat pertama mengatakan bahwa apron kurang
efektif sehingga tidak perlu adanya apron, karena masih banyak diperlukan ruang
di belakang garis layar. Pendapat kedua menganggap perlu adanya apron,
karena berfungsi untuk mengisi acara
ssbagai selingan sambil menunggu
pergantian adegan, tempat pengacara
memberikan pengumuman, penempatan mimbar ceramah, dan sebagainya.
c). Pelengkung proscenium bentuk
pelengkung ini tidak harus melengkung,
pada umumnya berbentuk persegi.
Pelengkung proscenium disertai dengan kain-kain (draperies) yang dipasang di
belakang dinding proscenium. Biasanya dari kain tebal, misalnya beludru
berwarna gelap. Pelengkung berfungsi sebagai penutup bagian-bagian lain di atas
panggung yang tidak perlu dilihat penonton, misalnya tali temali, lampu-lampu,
benda-benda skeneri. Kain-kain yang sejajar dengan pelengkung proscenium
sisi atas disebut tiser dan border. Kain-kain yang sejajar dengan
pelengkung proscenium yang tegak vertikal disebut tormentor dan sebeng.
d). Jembatan lampu letaknya di belakang tiser
dan berfungsi untuk menggantung
lampu-lampu dan kain border kesatu. Jembatan lampu tergantung pada tali/kawat (slink) pada sistem bandul
keseimbangan sehingga dapat dinaik-turunkan menurut kebutuhan.
e). Sicklorama adalah layar berbentuk tiga sisi atau yang sudut
sudutnya dapat dilengkungkan. Gunanya untuk memberikan efek kedalaman latar
belakang set eksterior langit atau cakrawala atau efek kedalaman ruang biasa.
f). Penutup permainan di panggung
ditutup dengan kain terpal/ lapisan karet tipis. Biasanya berwarna coklat tua
atau abu-abu, kehijauan atau kehitaman. Penutup ini dipasang di lantai selebar
luas lantai dan berfungsi mencegah bunyi
berisik saat pergantian set atau untuk mematikan bunyi langkah kaki bersepatu
di lantai panggung.
g). Layar asbestos adalah layar tahan api yang terletak di jajaran
paling depan memanjang sampai di
belakang proscenium. Dapat juga digunakan sebagai layar utama. Layar ini
juga berfungsi untuk menahan bunyi
sehingga di kedua tempat dapat digunakan bersama tanpa saling mengganggu.
h). Layar utama sebelum dibuka layar ini
berfungsi sebagai suatu dinding penghias
auditorium yang memiliki nilai tersendiri. Misalnya pada teater wayang orang
terdapat gambar pohon untuk memberikan suasana dalam auditorium. Di teater
modern kedudukan layar utama sebagai titik pusat perhatian penonton yang harus
serasi dengan lingkungan dalam auditorium. Warna polos dan kelam dapat menyerap sinar sehingga tidak
menyilaukan mata, dan dirangkai dari bahan tipis/sutera untuk menghindarkan
lunturnya warna.
i). Layar layang (drop curtain) memiliki
kelebihan yaitu cara
kerjanya yang tidak mengeluarkan bunyi
pada saat layar bergerak, dan tidak ada kekhawatiran terlipat-lipat.
j). Layar tarik, layar ini membuka dan menutup panggung dengan ditarik ke
samping dan ke tengah panggung. Layar ini terdiri dari dua bidang yang ditarik
ke sisi pinggir kiri kanan pelengkung proscenium.
k). Layar Tab adalah layar yang cara-cara kerjanya menggunakan sistem tarikan tali yang
disalurkan melalui lintasan cincin-cincin. Apabila lintasan cincin menyilang
diagonal, maka membuka dan menutupnya
layar juga diagonal. Bila lintasannya vertikal maka membuka menutupnya juga
vertikal. Meskipun lengkungan layar tab dibuka memberikan bentuk hiasan yang
bagus bagi suasana pertunjukan.
l). Layar gulung sistem kerjanya dengan
sistem gulung, seperti menggulung kre. Umumnya layar gulung digunakan di
gedung wayang orang, ketoprak, atau ludruk yang memiliki ruang panggung yang
sempit. Cara kerjanya sederhana sekali, dibuat dari bahan yang murah kemudian
digambari dengan skeneri yang diperlukan.
m). Tiser dan Tormentor; Tiser adalah kain
penghalang yang dipasang di atas panggung paling depan menyilang horizontal.
Ukurannya lebih besar daripada ukuran border. Tormentor adalah penutup
atau penghalang pandangan ke samping panggung paling depan yang dipasang secara
vertikal. Biasanya tormentor dibuat dari papan datar atau dari kain
berkerangka kayu sehingga berbentuk datar. Ujung atas tormentor
bersentuhan dengan ujung samping tiser. Tormentor merupakan sebeng
panggung paling depan yang dapat diubah
kedudukannya bergeser ke kiri atau ke kanan.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi
utama tormentor dan tiser selain untuk menutupi pandangan
penonton ke atas dan ke samping panggung juga berfungsi memperkecil lubang proscenium.
n). Para-para adalah jajaran kayu dan besi yang disusun
berderet letaknya di atas panggung. Para-para adalah tempat kedudukan kerekan
tali penggantung layar, skeneri, dan
lampu.
o). Kantong pasir dan tali kerekan untuk
membantu memperingan kerja. Kantong
pasir ini digantung pada kerekan untuk beban.
p). Sistem bandul keseimbangan dapat
lebih aman dan merupakan cara pengerekan yang lebih baik serta mengatasi
sebagian besar kesulitan yang ada pada sistem kerekan. Dalam sistem
bandul keseimbangan utasan talinya diganti dengan kawat atau slink.
Di dalam panggung konvensional dikenal posisi
panggung bawah (down-stage),
yaitu posisi panggung yang terletak di sebelah panggung utama yang dekat dengan
penonton paling depan (Up-stage). Panggung atas yaitu posisi panggung yang teretak di sebelah panggung
yang jauh dari penonton paling depan.
|
|
Keterangan Gambar 9:
A.
down stage, B. right stage, C. up stage, dan D. left stage
1.
up right stage 6. middle left stage
2.
up center stage 7. down right stage
3.
up left stage 8. down center stage
4.
midle right stage 9. down left stage
5.
center stage/dead center 10. apron
Gambar 10 : Bentuk Arena Pendopo
|
E
E
|
eE
E
E
E
E
|
Keterangan :
A.
Bangunan Depan (Kuncung)
B.
Bangunan Tengah (Pendopo)
C.
Bangunan Belakang (Pringgitan)
D. Empat Tiang Penyangga Utama (Saka Guru)
E.
12 Tiang Penyangga (Saka
Penjawat)
|
Sistem membuka dan menutup layar
|
|
|
|
Keterangan gambar 12:
a)
Sistem naik-turun
(Up and Down Flay Action).
b)
Sistem kupu tarung (Draw Treverse Action).
c)
Sistem kelambu tempat
tidur (Tableaux Action).
d)
Sistem gelombang air (Countour
Brail Action).
3.
Bentuk Campuran
Bentuk
campuran adalah bentuk pentas yang
memiliki bentuk percampuran dari teater arena dan teater proscenium
dengan menggabungkan dan meniadakan beberapa sifatnya. Penggabungan
tersebut adalah kesederhanaan pentas arena dan jarak yang jauh pada pentas proscenium.
Aspek yang dihilangkan adalah keakraban
pentas arena dan bentuk yang tertutup. Misalnya panggung yang dibuat untuk pentas di
televisi baik TVRI maupun TV swasta seperti Indosiar, RCTI, SCTV, Lativi, TV-7,
MTV, dan TPI. Pada dasarnya pentas seperti ini merupakan campuran dari
dua atau lebih tipe pentas seperti bentuk arena dengna proscenium. Membuat
pentas semacam ini dimaksudkan untuk melayani pertunjukan sebaik mungkin dalam
hubungannya dengan penonton.
Arsitektur pentas modern mempunyai
beberapa cirri yang dapat disebutkan di bawah ini.
1). Lantai pentas dibuat
datar.
2).
Lantai auditorium dibuat meninggi ke belakang dengan kostruksi berundak yang
berselisih ketinggian tiap lantai
kira-kira 10 cm.
3).
Panjang auditorium kurang lebih 2,5 luas rongga
pentas dengan lebar berdasarkan atas sudut pandangan maksimal.
4).
Deret kursi disusun dalam posisi agak melengkung dan berselang-seling dengan
jarak masing-masing deret 0,75 cm.
5).
Titik khayal pentas yang merupakan titik pusat terletak pada jarak 2m dari
tirai penutup.
6).
Deret kursi terdepan jarak 2,5 m dari orchestra pit (ruang musik)
7).
Bila memungkinkan akan lebih baik ada bangunan Balkon (tempat penonton di
lantai dua)
8).
Lantai penonton sebaiknya menggunakan keramik warna gelap misalnya, biru,
coklat, krem atau ping.
Gambar 14: Susunan penonton yang
benar